Istana Yogyakarta - Tak ada Istana Kepresidenan yang berperan begitu penting di masa revolusi kemerdekaan kecuali Istana Yogyakarta. Ketika Belanda melakukan agresi militer pada 3 Januari 1946 untuk menduduki kembali bekas jajahannya, pemerintahan Republik Indonesia terpaksa mengungsi ke Yogyakarta, di mana Presiden Sukarno dan keluarganya menempati sebuah rumah yang pernah menjadi kediaman resmi residen Belanda. Bangunan itulah yang kini menjadi Istana Yogyakarta.
Dalam sejarahnya bangunan yang lebih termasyhur dengan nama Gedung Agung di kalangan masyarakat setempat itu didirikan dengan memperhitungkan keberadaan sebuah benteng militer yang terletak tepat di depannya, di seberang jalan. Benteng yang dibangun pada 1767 itu sekarang masih tegak sebagai cagar budaya di sudut Jalan Malioboro dan Jalan Ahmad Yani yang bersebelahan dengan Pasar Beringharjo.
Mula-mula benteng itu bernama Rustenburg. Setelah gempa bumi pada 1867 ia dibangun kembali dan diganti namanya menjadi Vredenburg. Kedua nama itu mempunyai arti yang hampir mirip, yaitu kastil (benteng) damai. Nama yang sungguh berlawanan dengan fungsi bangunan! Sebab benteng itu dibangun dalam jarak tembak meriam ke arah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mencegah kemungkinan pembangkangan di lingkungan keraton Yogyakarta.
Dengan trauma dari Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro selama 1825-1830, pihak Belanda harus memperhitungkan tempat yang aman dan terlindung untuk memukimkan pejabat tingginya. Ada dua versi catatan yang mengisahkan bagaimana tempat tinggal yang demikian itu dibangun.
Catatan pertama menyebut bahwa pembangunan gedung ini dimulai pada 1755 bersamaan dengan pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ketika itu Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat baru saja terbentuk sebagai pecahan dari Kerajaan Mataram. Belanda yang ikut berperan dalam perpecahan itu mau tidak mau harus mendukung keinginan Sultan Hamengku Buwono I untuk mendirikan istana yang pantas. Maka dibangunlah gedung yang tidak kalah anggun bagi kediaman resmi Residen Belanda di Yogyakarta.
Catatan kedua menyebut bahwa kediaman resmi residen itu baru dibangun pada Mei 1824 ketika Residen Anthonie Hendriks Smissaert memegang jabatan. Arsiteknya A.A.J. Payen yang juga guru seni lukis Raden Saleh - ditunjuk langsung oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Belum selesai gedung dibangun pecahlah Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Residen Smissaert mengungsi ke dalam Benteng Vredenburg. Pembangunan dilanjutkan lagi setelah Perang Diponegoro dan baru selesai pada 1832. Catatan ini tampaknya lebih masuk akal.
Gempa bumi yang telah disebut di atas meruntuhkan bangunan Residenan Yogyakarta itu. Di atas lahan yang sama segera didirikan bangunan baru dengan gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis. Bangunan yang selesai pada 1869 itulah yang hingga kini merupakan bangunan utama Gedung Agung. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung Agung menjadi kediaman resmi Koochi Zimmukyoku Tyookan, penguasa tertinggi Jepang di Yogyakarta.
Serangkaian gerbong kereta api yang sengaja digelapkan lampu-Iampunya berhenti di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Malam 3 Januari 1946 itu merupakan bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dengan diam-diam, Presiden Sukarno dan keluarganya naik ke gerbong. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan keluarganya, juga para menteri dan pembantu dekat Presiden, ikut dalam perjalanan rahasia itu. Menembus gelap, kereta api pun menuju Yogyakarta. Pada malam yang sarna pasukan Belanda menyerbu Jatinegara, Jakarta. Ini adalah bagian dari agresi militer untuk menduduki kembali bekas tanah jajahan.
Esok paginya kereta api itu sampai di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Keluarga Presiden Sukarno diantar ke Gedung Agung. Sebuah rumah di sebelah utara Gedung Agung (sekarang menjadi markas Korem 072 Pamungkas) telah disediakan untuk tempat tinggal keluarga Wakil Presiden Mohammad Hatta. Para menteri tersebar di berbagai rumah penduduk. Masing-masing "membuka kantor" di bagian depan rumah yang mereka tinggali. Hanya Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang tetap berdiam di Jakarta.
Pada tanggal 7 Januari 1946, KNI (Komite Nasional Indonesia) Daerah Yogyakarta menyelenggarakan acara penyambutan Presiden dan Wakil Presiden di ruang tengah Istana Yogyakarta. Sebelum kedatangan Presiden Soekarno, sejak direbut dari tangan Jepang pada tanggal 5 Oktober 1945, KNI menggunakan gedung itu sebagai kantornya. Tugas utama KNI pada waktu itu adalah melakukan rasionalisasi BKR (Barisan Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Dengan demikian, Yogyakarta resmi menjadi Ibu Kota Negara, Pemerintah Republik Indonesia yang belum berusia lima bulan telah hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta, wilayah yang sepenuhnya dikuasai Republik Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda yang selama pendudukan Jepang mengungsi ke Australia, telah kembali ke Jakarta dan tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Penghunian Gedung Agung oleh keluarga Presiden membuat julukan gedung itu oleh rakyat Yogyakarta. Orang Yogya pernah menyebutnya sebagai Residenan, yaitu tempat tinggal Residen. Ketika Karesidenan Yogyakarta ditingkatkan status administrasinya menjadi provinsi sejak tahun 1927, gedung itu kemudian berubah julukan menjadi Gubernuran atau Loji Gubernur. Gedung itu kemudian berubah julukan menjadi Presidenan ketika Bung Karno dan keluarganya tinggal disana.
Gedung Agung mempunyai delapan kamar di bangunan utamanya itu sekaligus menjadi kediaman dan kantor Presiden Soekarno. Di sisi selatan gedung, Ruang Satu merupakan kamar tidur Bung Karno dan Ibu Fatmawati. Ruang Dua dipakai sebagai kamar kerja Presiden. Ruang Tiga dipakai untuk putra-putri Presiden. Ibu Fatmawati melahirkan Megawati Soekarnoputri, anak kedua, di Yogyakarta pada tahun 1946. Ruang Empat dipakai sebagai kamar tidur orang tua Ibu Fatmawati. Di antara keempat ruang ini juga terdapat ruang makan dan ruang tamu keluarga.
Di sisi utara terdapat empat ruangan yang simetris dengan sisi selatan. Keempat ruangan ini dipakai sebagai kantor Sekretariat Negara yang dipimpin oleh Abdul Gafar Pringgodigdo dan wakilnya, Mohamad Ichsan. Di belakang bangunan utama ini ada ruangan yang dipakai dsebagai tempat pementasan kesenian. Ruangan ini sekarang disebut Ruangan Kesenian. Bangunan ini berupa pendapa terbuka. Di utara dan selatan pendapa ini terdapat deretan kamar-kamar kecil yang dipakai oleh staf Presiden. Bila Perdana Menteri Sjahrir dating ke Yogyakarta, ia juga menginap di situ. Bahkan Tan Malaka dan kawan-kawan pernah juga ditahan di sana.
Di antara kedua sisi itu terdapat ruang utama, yaitu ruang yang terbesar di bangunan ini. Ruang ini merupakan ruang pertama yang dapat dicapai dari serambi depan dan sekarang disebut Ruang Garuda. Selain sebuah lambing Garuda Pancasila, di ruang itu juga dipajang beberapa lukisan pahlawan nasional: H.O.S. Tjokroaminoto (Affandi), Dokter Wahidin Sudirohusodo (Sudjono Abdullah), Dr. Sutomo (Dullah), M. Husni Thamrin (Soedarso), Dr. Tjipto Mangunkusumo (Soeromo), R.A. Kartini (Trubus S.), Diponegoro, Teuku Tjik Ditiro, dan Tuanku Imam Bondjol (S. Sudjojono).
Sebagian lantai marmer di Ruang Garuda kini ditutup dengan permadani merah. Di atasnya diatur beberapa deret kursi ukiran Jepara untuk beraudiensi. Pada masa Pemerintahan berpusat di Yogyakarta, Bung Karno melakukan sidang kabinet dan upacara-upacara resmi di ruangan ini.
Di belakang Ruang Garuda terdapat ruang makan yang cukup luas untuk jamuan kenegaraan. Bung Karno juga sering melakukan rapat-rapat besar yang dilakukan di pendapa belakang. Podium untuk rapat ditempatkan di panggung.
Setiap minggu Bung Karno juga memberi kuliah ketatanegaraan dan politik. Siapa saja boleh datang mendengar kuliahnya.
Di bagian depan, di sisi utara dan selatan Ruang Garuda, terdapat dua ruang tamu. Ruang tamu yang di sebelah selatan disebut Ruang Soedirman, sedangkan yang di sebelah utara disebut Ruang Diponegoro. Ruang selatan itu disebut Ruang Soedirman karena di ruang itulah Panglima Besar Soedirman dulu mohon diri kepada Presiden Sukarno untuk memimpin perang gerilya melawan Belanda. Setiap tahun, para calon prajurit taruna AKABRI melakukan acara napak tilas dengan upacara di depan Gedung Agung dan berkunjung ke Ruang Soedirman. Di ruang itu sekarang terdapat patung dada Panglima Besar Soedirman dari perunggu serta beberapa lukisan.
Penamaan Ruang Diponegoro adalah untuk mengenang pahlawan besar itu. Di situ ditempatkan lukisan Pangeran Diponegoro - reproduksi dari lukisan Basuki Abdullah yang berada di Istana Merdeka, Jakarta.
Bung Karno, yang mempunyai kebiasaan bangun pagi, sering memulai kerjanya di ruang tamu keluarga. Seringkali santap paginya juga dibawa ke situ agar ia dapat sarapan sambil meneruskan penulisan berbagai surat serta dokumen. Di ruang tamu keluarga ini pula Bung Karno menerima para pembantu dekatnya untuk memberikan perintah kerja harian.
Sang Presiden suka mengajak orang-orang kebanyakan untuk mengobrol soal wayang di beranda Gedung Agung. Biasanya ia hanya mengenakan piyama dan Ibu Fatmawati menyuguhkan pisang atau singkong rebus yang membuat tamu-tamunya merasa seperti di rumah sendiri. Pada masa itu, Ibu Fatmawati masih suka memasak sendiri untuk keluarganya. Di masa perjuangan yang serba sulit itu, kadang-kadang Ibu Fatmawati menjadi kewalahan bila Guntur menginginkan ayam, sedangkan bahan makanan itu tidak tersedia.
Sekalipun dalam kondisi keuangan yang serba terbatas, pada masa itu Bung Karno sudah mulai bergaul dengan para seniman Yogyakarta dan membeli lukisan mereka. la membeli, antara lain, beberapa lukisan Affandi, S. Sudjojono, dan Sudjono Abdullah (adik Basoeki Abdullah). Sebaliknya, pata pelukis pun banyak menitipkan lukisan untuk menghias "rumah" kediaman Presiden yang mereka banggakan itu. Masa itu juga merupakan masa kejayaan Seniman Indonesia Muda, sebuah perhimpunan pelukis yang berpusat di Yogyakarta.
Maka Istana Yogyakarta terisi sejumlah lukisan penting karya seniman-seniman Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan dibubuhi kata-kata yang menunjukkan bahwa lukisan itu dihadiahkan kepada Bung Karno, sang patron yang telah memuliakan kehidupan seniman.
Dalam masa pengungsian di Yogyakarta itu, Bung Karno juga sempat diungsikan lagi ke Gunung Wilis di Jawa Timur. Pada suatu hari di bulan suci Ramadhan, Belanda mencederai Perjanjian Linggajati dan mengirim tentaranya untuk melakukan agresi ke berbagai sasaran secara serentak. Serangan terbesar, yakni ke Yogyakarta, terjadi pada 19 Desember 1948.
Serangan yang dilancarkan oleh Van Mook itu sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap etika negosiasi. Para delegasi Komisi Tiga Negara yang membantu menengahi sengketa baru saja selesai berunding dengan wakil-wakil Pemerintah Indonesia di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Merle Cochran, Ketua KTN mewakili Amerika Serikat, baru saja berangkat ke Jakarta membawa surat hasil kesepakatan pertemuan di Kaliurang itu.
Sejak subuh pada hari Minggu itu, Belanda menggempur Yogyakarta dengan tembakan mitraliur dari pesawat-pesawat terbang P-51 yang melintas rendah di atas kota. Pasukan payung diterjunkan untuk menduduki berbagai instalasi strategis. Dalam waktu singkat pangkalan udara Maguwo berhasil direbut. Belanda juga berhasil mengebom Komando Militer Kota. Dapur Gedung Agung pun kejatuhan bom. Yogyakarta yang sedang kosong tentara dengan mudah direbut oleh pasukan Belanda.
Tinggal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Gedung Agung saja yang belum berhasil diduduki Belanda. Kendaraan-kendaraan berlapis baja telah mengepung kedua kompleks istana itu. Panglima Besar Soedirman, yang dalam keadaan sakit parah datang ke Gedung Agung, meminta Presiden meninggalkan kota dan bergerilya di hutan. Bung Karno menolak, dan dengan kecewa Jenderal Soedirman berangkat bergerilya melalui jalur tenggara yang masih belum diduduki Belanda.
Dalam keterdesakan itu, Pemerintah sempat mengeluarkan maklumat melalui Radio Republik Indonesia bahwa Belanda telah melakukan agresi kedua, dan meminta agar rakyat terus berjuang. Maklumat berikutnya mengumumkan penunjukan Menteri Kemakmuran Mr. Sjafrudddin Prawiranegara, yang berada di Sumatra, untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia bila seandainya Presiden dan Wakil Presiden terbunuh atau tertawan. Jika Sjafruddin tidak berhasil membentuk Pemerintah Darurat, mandat diberikan kepada Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di India untuk membentuk Pemerintah Darurat di Luar Negeri.
Yogyakarta akhirnya jatuh. Presiden, Wakil Presiden, dan pemimpin-pemimpin besar lainnya ditawan. Foto Bung Karno memegang bendera putih hendak naik ke jip tentara Belanda disebarluaskan oleh pihak Belanda untuk mematahkan semangat perjuangan bangsa Indonesia. Di beberapa lini perjuangan, Belanda menyebarkan foto itu melalui pesawat udara.
Bung Karno dan Bung Hatta dibuang ke Brastagi, dekat Medan, kemudian dipindahkan ke Pulau Bangka. Bung Karno ditempatkan di Mentok, sedangkan Bung Hatta di Bukit Menumbing. Untunglah, Bung Hatta sempat mendiktekan surat kepada T.B. Simatupang, yang ketika itu menjadi Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, dan menandatanganinya sebelum ditawan. Surat itu menjadi dasar legal bagi Angkatan Perang untuk melanjutkan perjuangan.
Ketika menduduki Yogyakarta, Belanda kembali menghuni puri di seberang Benteng Vredenburg itu. Namun, kenyataan itu tidak bertahan lama. Pada pagi hari 1 Maret 1949, pasukan Wehrkreise III di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto menyerang Yogyakarta dari segala jurusan dan berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Polisi militer Belanda yang menduduki Gedung Agung bahkan lari ke Benteng Vredenburg, seperti seabad sebelumnya ketika Residen Smissaert mengungsi ke benteng yang sarna karena serangan Pangeran Diponegoro.
Belanda akhirnya mundur diri dari Yogyakarta pada Juni 1949. Jenderal Soedirman dan Sjafruddin Prawiranegara, yang kembali ke Yogyakarta, mengambil alih Gedung Agung sambil menunggu kembalinya Bung Karno dan Bung Hatla dari pengasingan.
Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949 dan Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Jakarta, Gedung Agung beralih fungsi menjadi Gedung Negara Yogyakarta.
Pada 1961, Presiden Sukarno menyampaikan pidato Trikora di Alun-alun Yogyakarta dan menginap di Gedung Agung. Pidato itu demikian penting karena merupakan titik sejarah dalam merebut kembali Irian Barat menjadi bagian Ibu Pertiwi.
Gedung Agung secara resmi diputuskan menjadi Istana Presiden Republik Indonesia pada 1972, dan dipergunakan sebagai tempat penginapan Presiden dan para tamu negara di Yogyakarta. Sebelumnya, pengelolaan dan perawatan Gedung Agung sejak 1954 ditangani oleh Kepatihan Danurejan. Sejak 1972, Gedung Agung mengalami renovasi agar layak bagi kepala negara dan kepala pemerintahan.
Renovasi Gedung Agung Yogyakarta juga mengubah dinding-dindingnya yang semula ditutup kayu jati. Dinding kayu jati ini semula untuk menutup tembok yang aslinya terbuat dari adukan kapur, pasir, dan bata merah, yang ternyata tidak mampu menahan rembesan air dan membuatnya selalu lembab. Sekarang dinding-dindingnya adalah tembok dengan semen Portland yang dicat putih.
Sama dengan yang terjadi di Istana Jakarta, renovasi Gedung Agung juga melibatkan penututupan beberapa beranda dan serambi terbuka menjadi ruang-ruang tertutup dengan dinding dan jendela. Dengan renovasi demikian, sisi selatan diperuntukkan Presiden, sedangkan sisi utara Wakil Presiden.
Pada mulanya, unsur seni rupa Jawa terlihat sedikit di sana-sini dalam perpaduan dengan bentuk Barat, misalnya pada hisasan tiang-tiang besi di dekat tangga serambi atau pada lubang lubang angin di loteng. Kemudian, pada beberapa tahun terakhir ini ada usaha pengindonesiaan dengan menambahkan ukiran jati dari Jepara pada lis jendela dan gantungan tirai oleh Iwan Tirta.
Kemudian, Istana Yogyakarta direnovasi seeara terburu-buru untuk menyambut kedatangan Putra Mahkota Akihito (waktu itu belum menjadi Kaisar) dan Putri Michiko pada 1991.
Hanya tampak depan bangunan utamanya saja yang masih seperti aslinya. Bangunan bergaya Eropa ini berlantai satu dan mempunyai serambi depan yang melebar. Bagian depan serambi tidak ditopang dengan saka-saka Yunani, melainkan dengan sepuluh tiang besi cor. Di serambi terdapat tujuh pintu. Di antara pintu-pintu itu terdapat dua saka Doria sederhana, tanpa kapitel. Tiga pintu yang di tengah menuju ke Ruang Garuda. Masing-masing dua pintu di kanan dan kiri menuju ke ruangruang yang berada di kedua sisi bangunan.
Di halaman luas di depan Gedung Agung berdiri tiang bendera yang di depannya dikawal oleh sebuah area batu dwarapala. Arca kuno ini adalah satu dari empat area serupa yang ditemukan di daerah Kalasan.
Di halaman depan, dekat serambi depan, terdapat sebuah arca batu kuno setinggi tiga setengah meter. Dari kejauhan tampak seperti sebatang lilin besar, sehingga rakyat Yogyakarta menyebutnya Patung Lilin. Sebenarnya monumen ini adalah cupuwatu yang merupakan bentuk asli stupa yang disebut dagoba. Monumen dari batu andesit ini ditemukan di daerah sekitar Prambanan. Menilik ragam hiasnya, dagoba ini diduga dahulu berfungsi sebagai tempat menyimpan abu jenazah.
Istana Yogyakarta juga menyimpan sekitar 50 arca batu kuno yang ditemukan di daerah sekitar Yogyakarta. Arca-arca yang dikumpulkan para residen Belanda ini semula ditempatkan di Benteng Vredenburg. Semua area itu kini dirawat dan dilestarikan di sebuah sudut halaman belakang Istana.
Istana Yogyakarta merupakan kompleks Istana Kepresidenan yang paling kecil dari istana-istana lainnya. Di atas lahan itu kini telah berdiri berbagai bangunan tambahan. Satu bangunan sudah dibangun pada masa Belanda, yakni untuk wakil residen, terletak di bagian selatan sisi depan. Bangunan itu sekarang diberi nama Wisma Indraprasta dan dipakai untuk penginapan para pejabat.
Wisma Negara adalah bangunan tambahan yang dibuat pada 1980. Ini adalah bangunan berlantai dua dengan arsitektur model limasan, sesuai dengan tempatnya di Yogyakarta. Wisma Negara mempunyai 19 kamar untuk fasilitas menginap tamu-tamu setingkat menteri, di samping ruang makan dan ruang tamu yang luas. Bangunan ini didirikan di atas lahan yang semula lapangan tenis. Selain itu juga dibangun beberapa paviliun kecil - Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu, dan Wisma Saptapratala-untuk tempat menginap para ajudan, dokter, dan para pengawal tamu negara. Peresmian Wisma Negara dilakukan oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono pada 1983.
Kompleks Seni Sono dipugar sejak 1995 sampai tiga tahun berikutnya. Kemudian Presiden B.J. Habibie meresmikan penggunaannya kembali. Bangunan aslinya yang didirikan tahun 1915 itu terletak di sudut selatan bagian depan kompleks Istana Yogyakarta, bersisian dengan Jalan K.H.A. Dahlan. Di masa lalu, bangunan ini pernah dipakai sebagai soos atau societeit (wisma rekreasi bagi warga asing), sebelum kemudian menjadi gedung bioskop, dan terakhir sekali dipakai sebagai galeri seni. Di sebelahnya, terdapat Kantor Wilayah Departemen Penerangan dan kantor perwakilan LKBN Antara.
Seni Sono dipugar dengan corak arsitektur Gedung Agung sebagai acuan, untuk menciptakan kesan serasi. Bangunan baru Seni Sono terdiri dari auditorium, tempat penyimpanan koleksi benda-benda seni, galeri pameran, dan perkantoran. Penyatuan Seni Sono menjadi bagian Istana Kepresidenan adalah upaya penataan sekaligus memberi tempat terhormat bagi pementasan clan pameran seni bagi kota Yogyakarta.
Selain Pangeran Akihito (sebelum menjadi Kaisar) dan Putri Michiko, adalah Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard, serta Pangeran Charles dan Putri Diana yang pernah menginap di Gedung Agung.
Para tamu negara yang mengunjungi Istana Yogyakarta kini tidak akan lagi mendapatkan gelora masa perjuangan, karena Gedung Agung lebih berfungsi sebagai tempat persinggahan. Namun bagaimanapun ia - dengan interior, isi, dan lokasinya yang khas-tetap memberikan makna yang mendalam tentang lingkungan budaya yang telah menghidupinya dengan sepenuh hati.
0 komentar:
Posting Komentar